Tuesday, April 14, 2020

Membangun Karakter Bangsa melalui Gerakan Pramuka

Saturday, May 28, 2011

Membangun Karakter Bangsa melalui Gerakan Pramuka



Membangun Karakter Bangsa melalui Gerakan Pramuka
DALAM karyanya "Bharatayudha", Empu Sedah dan Empu Panuluh, delapan ratus lima puluh satu tahun yang lalu, tepatnya tahun 1157 telah mengingatkan kita yang hidup sekarang ini dengan mengatakan, "Pulau Jawa adalah tanah yang subur makmur, sangat indah tiada tara, tetapi negara ini sedang menderita sedih, karena dirusak oleh orang-orang jahat, dan para raja yang memerintah tidak mampu menjaganya" (Kompas, 17 Mei 2008).
Peringatan dua pujangga tersebut mengingatkan kita pada beberapa kisah dan informasi berikut ini. Setelah menyelesaikan studi doktor di Amerika, sebelum kembali ke tanah airnya; Indonesia, Nurcholish Madjid menyempatkan diri singgah/pergi ke Timur Tengah guna melaksanakan Umrah. Dalam perjalanannya, beliau ditemani bule perlente yang juga warga negara Amerika. Di tengah perjalanan, si bule memaksa supir taxi berhenti, kemudian si bule pun turun, tentunya setelah membayar ongkos perjalanannya. Sesampai di tempat tujuan, Cak Nur bertemu kembali dengan si bule tadi, seraya bertanya, "kenapa tadi anda memaksa untuk diturunkan di tengah jalan? Si bule menjawab, "karena saya ketahui setelah berada dalam taksi ini, supirnya adalah orang Indonesia. Lalu kenapa? Ada persoalan apa anda dengan orang Indonesia? Si bule kembali menjawab dalam nada bertanya, bukankah orang Indonesia karakter suka menipu?
Anthony Giddens mengatakan pada umumnya orang Asia suka pesta dan bersolek. Referensi lain; Ensiklopedia Britania, penulis temukan dan baca sebuah entry tentang "Malay", disana disebutkan bahwa orang Melayu, salah satu suku bangsa negeri ini (menurut Amien Rais, maksudnya orang Indonesia) adalah pemalas, boros dan beberapa karakter negatif lainnya. Mochtar Lubis menambahkan beberapa ciri atau karakter manusia Indonesia; "(1) hipokrit atau munafik; lain di mulut dan lain di hati; (2) enggan bertanggung jawab; (3) mental menerabas, ingin kaya tanpa usaha, ingin pintar tanpa belajar; (4) feodalistik; (5) masih percaya tahyul; (6) artistik/penampilan/bergaya (7) berwatak lemah sehingga dengan mudah dirubah keyakinannya demi kelangsungan hidup. Dan karakter tambahan; (1) senang bernostalgia/efouria masa lalu; (2) cepat marah; (3) tukang lego untuk ditukar dengan yang lain asal dapat uang tunai."
Kita pun menjadi semakin bersedih, ketika membaca sebuah artikel yang ditulis oleh MT. Zen berjudul "Jangan Biarkan Indonesia Jadi Negara Gagal". Pada artikel tersebut dikemukakan beberapa kriteria atau ciri khas yang disepakati di dunia ini mengenai sebuah negara gagal, sepertinya kriteria tersebut sedang terjadi di negeri tercinta saat ini, yakni sebuah negara; (1) terasa tidak ada lagi jaminan keamanan; (2) pemerintah seakan-akan tidak lagi dapat menyediakan kebutuhan pokok; (3) korupsi merajalela dan justru dilakukan oleh lembaga yang sebenarnya memiliki tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat dan negara terhadap gangguan korupsi; (4) bentrokan horizontal diantara kelompok etnisitas yang sebenarnya tidak perlu terjadi; (5) kehilangan kepercayaan yang merata dan menyeluruh dari masyarakat (Kompas, 14 mei 2008).
Sudahlah, terlalu banyak untuk disebutkan bukti-bukti dekadensi moral dan lemahnya karakter anak bangsa pada kolom opini terbatas ini. Lembaga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat sudah tidak terhitung jumlahnya yang telah melakukan upaya ke arah perbaikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ini, namun hasilnya sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Meskipun demikian, janganlah berputus asa, sejelek apapun karakter bangsa ini. Ia adalah tanah air, bangsa, dan negeri kita sendiri. Mungkin ada diantara mereka anak kandung dan saudara/i kita sendiri. Kondisi tersebut di atas membuat salah seorang pujangga, Taufik Ismail merasa "Malu Menjadi Orang Indonesia". Mengapa harus malu? Mari kita hapus rasa malu ini dengan memikirkan kembali pendidikan, yakni menjadikan pendidikan lebih bermakna dan pendidikan berbasis karakter.
Mahatma Gandhi mengatakan, "kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa". Dan membangun karakter (character building) telah menjadi keinginan semua orang, terutama para pendiri bangsa ini. Karakter yang baik lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup", dikutip dari Maxwell (2001) dalam bukunya "The 21 Indispensable Qualities of A Leader".
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan peringatan Hari Pendidikan
Nasional di Universitas Airlangga, Senin 12 Mei 2008 yang lalu mengingatkan bahwa, "ke depan bangsa ini harus meningkatkan kemandirian, daya saing dan peradaban bangsa. Untuk itu pendidikan harus bertujuan mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul yang dicirikan antara lain; ulet, tangguh, sanggup menghadap tantangan, saling menyayang dan menghormati, dan toleransi."
Usaha membentuk karakter yang baik bukan pekerjaan mudah, memerlukan pendekatan komprehensif yang dilakukan secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan yang dimulai dari sejak kecil di lingkungan keluarga. Sayangnya pendidikan dalam keluarga (informal) ini belum memperoleh pencerahan yang baik, dibanding penyelenggaraan pendidikan pada jenjang lainnya. Ada dua hal penting yang mesti diperhatikan ketika membangun kakarter bangsa ini, yakni melalui; (1) pembiasaan; dan (2) contoh atau tauladan. Stephen Covey mengatakan, "Karakter kita pada dasarnya disusun dari kebiasaan-kebiasaan kita," dikutip dari Paul G. Stoltz (2003) dalam bukunya "Adversity Quotient @ Work.
Demikian pula keteladanan, Abdullah Nashih Ulwan (1999) dalam bukunya "Tarbiyatul Aulad fil Islam" mengatakan keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spritual dan etos sosial anak. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya QS 2:44; "Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri atas kewajibanmu, padahal kamu membaca al-Kitab, maka tidakkah kamu berpikir?" sebelum kita semakin jauh, kita akan menengok sebetulnya apa sih itu karakter ?
Orang cerdas kerap hanya menjadi pelayan bagi mereka yang memiliki gagasan, dan orang-orang yang memiliki gagasasan besar melayani mereka yang memiliki karakter yang sangat kuat, sementara orang yang memiliki karakter kuat melayani mereka yang berhimpun pada diri mereka karakter yang sangat kuat, visi yang besar, gagasan-gagasan yang cemerlang, dan pijakan idelogi yang kukuh.
Kalimat di depan yang dipakai Muhammad Fauzi Adhin ketika beliau mengawali pembahasan tentang membangun karakter positif pada anak dalam salah satu buku beliau. Begitunya pengaruh karater dalam kehidupan. Namaun sebelum berbicara lebih jauh, ada baiknya kita memahami arti dari karakter tersebut. Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani Charassein, yang artinya Mengukir. Dari arti bahasa ini, saya ingin menunjukkan kepada Anda tentang apa yang dimaksud dengan karakter.
Sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau aus terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu. Sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya. Ini berbeda dengan gambar atau tulisan tinta yang hanya disapukan di atas permukaan benda. Karena itulah, sifatnya juga berbeda dengan ukiran, terutama dalam hal ketahanan dan kekuatannya dalam menghadapi tantangan waktu. Tulisan dan gambar akan mudah hilang, sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali. Sampai-sampai orang tidak akan pernah menyangka kalau di atas benda yang berada di hadapannya itu pernah terdapat tulisan dan gambar.
Karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya ini membuat kita tidak serta merta jatuh dalam fatalisme akibat determinasi alam, ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang kita miliki. Melalui dua hal ini kita diajak untuk mengenali keterbatasan diri, potensi-potensi, serta kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan kita. Untuk itulah, model tipologi yang lebih menekankan penerimaan kondisi natural yang dari sononya tidak cocok. Cara-cara ini hanya salah satu cara dalam memandang dan menilai karakter.
Karena itu, tentang karakter seseorang kita hanya bisa menilai apakah seorang itu memiliki karakter kuat atau lemah. Apakah ia lebih terdominasi pada kondisi-kondisi yang telah ada dari sononya atau ia menjadi tuan atas kondisi natural yang telah ia terima. Apakah yang given itu lebih kuat daripada yang willed tadi. Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sononya. Sedangkan, orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang berkarakter dengan demikian seperti seorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat pertumbuhannya. Sebaliknya, ia menguasainya, mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya.
Orang yang terlalu dikuasai oleh situasi kondisi yang dari sononya itu, dalam tingkatan yang paling ekstrem bisa jatuh dalam fatalisme. Ekspresi umum orang seperti ini adalah, “karakter saya memang demikian. Mau apa lagi?” “Saya menjadi demikian ini sudah dari sono-nya. Inilah takdir dan keberuntungan hidup saya”. Semua ini seolah ada di luar kendali dirinya. Karena itu tidak ada gunanya lagi mencoba mengatasinya. Sebab jika sesuatu itu telah ditentukan dari sononya, manusia ini hanya semacam wayang yang tergantung dari gerakan tangan sang dalang. Kalau saatnya masuk kotak ya kita tinggal masuk kotak saja. Saat tampil, ya kita tampil. Fatalisme seperti ini sangat kontraproduktif dengan cita-cita sebuah pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan terstruktur agar manusia itu semakin dapat memiliki kebebasan sehingga mampu lebih gesit dan lincah dalam menempa dan membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya.
Manusia memiliki struktur antropologis yang terbuka ketika berhadapan dengan fenomena kontradiktif yang ditemukan dalam dirinya, yaitu, antara kebebasan dan determinasi, antara karakter yang stabil dengan ekspresi periferikal atasnya yang sifatnya lebih dinamis dan mudah berubah.
Dengan gambaran manusia seperti ini, Mounier menegaskan bahwa individu itu selalu bergerak maju mengarah ke masa depan. Aku bukanlah sekumpulan masa laluku. Aku adalah sebuah gerak menuju masa depan, yang senantiasa berubah menuju kepenuhan diriku sebagai manusia yang lebih besar. Aku adalah apa yang dapat aku kerjakan, aku lakukan, yang membuatku menjadi seperti yang aku ingini. Aku mengatasi apa yang ada dalam diriku saat ini. Aku adalah apa yang masih bisa aku harapkan daripada sekedar hal-hal yang telah aku peroleh selama ini. Jadi, manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi, sebab harapan dan impian ini merupakan semacam daya dorong yang membuatnya mampu secara optimis menatap masa depan dengan mempertimbangkan daya-daya aktualnya yang sekarang ini ia miliki.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi semacam dialektika terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi
Berarti sesungguhnya karakter itu sesungguhnya sudah ada di dalam diri seseorang, namun dalam perjalanan kehiduan karakter itu akan menampilkan sosok nya dalam tingkah laku manusia yang dapat di evaluasi. Dalam dalam hal ini kita dapat mengatakan karakter itu baik atau buruk.
Terkait pembangunan karakter, sejumlah hal yang harus diperhatikan, dikembangkan dan diolah. Pramuka membangun akhak anak bangsa yang baik, berbudi pekerti, berpikir positif, tangguh, percaya diri tetapi tidak takabur, disiplin, inovatif dan rukun serta memiliki kesetiakawanan. Betapa pentingnya gerakan pramuka, apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Ada tiga pilar utama menuju bangsa yang maju yang berkaitan langsung dengan gerakan pramuka adalah membangun pradaban yang mulia. Salah satu hal yang penting dalam membangun pradaban bangsa yang mulia adalah membangun karakter. Pembangunan karaketr itu bisa dilakukan didalam gerakan pramuka dengan berjenis latihan dan keterampilan yang dimiliki.
Sebagai organisasi sosial gerakan pramuka menitik beratkan pada pembinaan mental dan disiplin yang tinggi kepada para anggotanya. Pramuka terbukti mampu melahirkan generasi-generasi muda atau tunas-tunas bangsa yang tangguh dan bertanggung jawab. Olih karenanya gerakan pramuka harus terus ditumbuhkan dan dikembangkan dikalangan anak dan kaum muda. Gerakan pramuka adalah mendidik anak dan kaum muda agar berwatak dan berkepribadian luhur serta memiliki jiwa bela negara yang andal. Pendidikan pramuka berperan sebagai komplemen dan suplemen terhadap pendidikan formal. Untuk mencapai maksud tesebut dilaksanakan kegiatan kepramukaan melalui proses pendidikan yang menyenangkan dengan menggunakan prinsip dasar dan metode kepramukaan. Gerakan pramuka sangat baik dalam pembentukan ''human character building'' (pembentukan karakter manusia) yang terbukti mampu menciptakan insan yang mandiri dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan semuanya itu agar tiap-tiap jenjang pendidikan memasukkan pendidikan gerakan pramuka diantaranya bisa dimasukkan dalam pendidikan pengembangan diri, ekstrakurikuler atau yang sejenisnya. Dikatakan juga gerakan pramuka mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertuang dalam Dasar Dharma Pramuka.

Mengapa Pendidikan Kepramukaan Semakin Dijauhi

Friday, March 9, 2018

Mengapa Pendidikan Kepramukaan Semakin Dijauhi


Mengapa Pendidikan Kepramukaan Semakin Dijauhi?
Fauzi Kromosudiro      20 January 2009

Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi kepanduan di Indonesia yang diakui keberadaannya oleh pemerintah telah menjadi sebuah organisasi yang besar, dengan jumlah anggota yang besar. Namun demikian, kenyataannya pada perkembangan dewasa ini pendidikan kepramukaan semakin dijauhi oleh para remaja. Fakta menunjukkan bahwa pada hampir semua sekolah menengah dan sebagian SMP pendidikan kepramukaan bukan merupakan pilihan utama kegiatan ekstra kurikuler. Para siswa memiliki kecenderungan memilih kegiatan ekstra kurikuler lainnya yang dianggap lebih menarik. Gejala ini juga terjadi pada berbagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan kepramukaan, yaitu bahwa pendidikan kepramukaan di kampus perguruan tinggi hanya diikuti oleh sedikit mahasiswa.
Meluruskan Pengertian ‘Pramuka’
Adanya ketidaksesuaian antara data yang dilaporkan dengan kenyataan yang ada ditengarai karena adanya kesalahan persepsi mengenai pengertian Pramuka atau anggota Gerakan Pramuka. Menurut Baden Powell seseorang dapat dikatakan sebagai anggota suatu gerakan kepanduan (kepramukaan) apabila ia telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu ialah berupa syarat kecakapan umum (SKU). Untuk itulah apabila seorang anak atau remaja ingin diakui keberadaannya dalam suatu ikatan sepersaudaraan bakti pada satuan Gerakan Pramuka ia harus berusaha untuk lulus ujian SKU sesuai dengan golongan usianya. Bahkan sebelum ia lulus ujian SKU dan dilantik ia belum boleh mengenakan atribut pakaian seragam secara lengkap, yaitu mengenakan setangan leher atau pita leher, topi dan tanda pelantikan.http://fauziep.blogdetik.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang anak atau remaja/pemuda yang mengikuti pendidikan kepramukaan belum tentu dapat dikatakan sebagai Pramuka atau anggota Gerakan Pramuka. Untuk menjadi Pramuka sebenarnya tidaklah sekedar mengenakan pakaian seragam coklat muda-coklat tua, melainkan memerlukan persyaratan tertentu.
Kurangnya pemahaman terhadap pengertian Pramuka atau anggota Gerakan Pramuka itulah yang kiranya menyebabkan terjadinya data yang bias. Karena kenyataannya pada jenjang pendidikan menengah dan jenjang pendidikan tinggi pendidik-an kepramukaan mengalami kemunduran jumlah anggota.
Memang untuk jenjang pendidikan dasar, lebih khusus lagi Sekolah Dasar, pada hampir semua sekolah merupakan kegiatan yang wajib diikuti oleh siswa. Maka jumlah anggota Gerakan Pramuka sebesar lebih 22 juta orang itu akan dapat dimengerti apabila keseluruhan jumlah siswa SD kelas 4, 5 dan 6 diakui menjadi anggota Gerakan Pramuka ditambah siswa SMP dan sekolah menengah serta mahasiswa yang memang terdaftar sebagai anggota Gerakan Pramuka. Untuk itulah kiranya perlu diteliti kembali apakah jumlah anggota Gerakan Pramuka sebesar itu benar-benar mencerminkan keadaan yang senyatanya.
Kembali pada persoalan semula, yaitu mengenai gejala pendidikan kepramukaan semakin dijauhi oleh para remaja. Menurut pengamatan penulis gejala ini akan jelas menampak pada sekolah yang mengambil kebijakan untuk tidak mewajibkan siswanya mengikuti pendidikan kepramukaan, artinya siswa diberi kebebasan memilih kegiatan ekstra kurikuler sesuai dengan minatnya. Pada umumnya sekolah yang mengambil kebijakan seperti itu adalah SMP dan sekolah menengah.
Ada beberapa faktor yang dapat ditemukenali sebagai penyebab kurangnya minat siswa untuk mengikuti pendidikan kepramukaan. Adapun beberapa faktor itu adalah bahwa pendidikan kepramukaan dianggap telah ketinggalan jaman, merosotnya mutu proses pendidikan kepramukaan dan rendahnya jumlah Pembina yang berkualitas.
Ketinggalan Jaman
Pada tahap perkembangan ilmu dan teknologi serta arus informasi yang demikian pesat dewasa ini, seakan pendidikan kepramukaan tetap saja berjalan di tempat. Berbagai materi dan metode yang dikenalkan hampir lebih sepuluh tahun yang lalu sampai saat ini masih disampaikan kepada para peserta didik tanpa mengalami pembaharuan. Para Pembina Pramuka dan Pelatih Pembina Pramuka terlalu berpegang pada pakem yang ada, seakan tidak peduli terhadap kemajuan di sekilingnya.
Memang prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan senantiasa harus dipegang teguh dalam proses pendidikan kepramukaan, karena hal itu merupakan ciri utama yang membedakan antara pendidikan kepramukaan dengan bentuk pendidikan lainnya. Namun materi yang diberikan serta metode pembelajarannya harus selalu dikembangkan mengikuti perkembangan jaman.
Kemampuan mengembangkan materi serta metode pembelajaran itulah yang saat ini miskin dikuasai oleh para Pembina Pramuka. Kebanyakan dari mereka dalam proses latihan rutin dari tahun ke tahun selalu hanya mengandalkan buku rujukan Kursus Pembina Mahir Dasar atau Lanjutan.
Untuk itulah pada kurikulum Kursus Pembina Mahir Dasar dan Kursus Pembina Mahir Lanjutan perlu dicantumkan pokok bahasan tentang inovasi teknologi pendidikan kepramukaan, yaitu suatu pokok bahasan yang memberikan bekal pada Pembina Pramuka agar mampu melakukan pembaharuan di bidang materi dan metode pembela-jaran untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Konteks menyesuaikan jaman artinya adalah melakukan pembaharuan pendidik-an kepramukaan sesuai dengan minat dan kebutuhan perkembangan anak dan remaja pada jaman dimana ia hidup.
Berkaitan dengan hal itu, maka akan dapat kita kaji kembali: sejauhmana keterkaitan keterampilan semaphore, morse, dan tali temali pada pendidikan kepramukaan dalam era globalisasi informasi serta teknologi canggih dewasa ini? Memang pada era Baden Powell, awal abad ini, semaphore dan morse merupakan alat yang ampuh dalam melakukan komunikasi jarak jauh dan tali temali merupakan keterampilan utama yang diperlukan dalam melakukan pionering.
Fakta lain menunjukkan bahwa pada perkembangan dewasa ini pendidikan kepramukaan jauh kalah populer dibanding dengan kelompok pecinta alam. Perkembangan kegiatan kelompok pecinta alam sudah sedemikian pesatnya sehingga muncul aktivitas yang menarik bagi remaja seperti panjat tebing, caving, dan mountainering. Pada perkembangan yang sama sebagian besar satuan Gerakan Pramuka masih melakukan kegiatan alam terbuka dengan acara mencari jejak, permainan berbagai macam sandi, wide game yang dipandang oleh remaja terlalu monoton dan sudah kuno. Padahal sejarah pertum-buhan Gerakan Pramuka di Indonesia lebih tua dibanding dengan kelompok pecinta alam. Mengapa hal itu bisa terjadi? Padahal sebagian besar aktivitas pendidikan kepramukaan adalah di alam terbuka serta diikuti usaha mengenal dan menanamkan rasa mencintai alam. Keadaan ini tidak akan terjadi manakala Pembina mampu mengembangkan dan mengemas kegiatan sesuai dengan minat anak dan remaja sesuai dengan jamannya, bukan jamannya Kakak Pembina.
Perlu Pembaharuan
Untuk itulah sudah saatnya Gerakan Pramuka melakukan kajian mengenai usaha meningkatkan relevansi pendidikannya, utamanya menyesuaikan materi dan metode pembelajaran yang sesuai dengan perubahan jaman dan kebutuhan masyarakat. Usaha itu adalah upaya untuk menarik minat para anak dan remaja agar tertarik pada pendidikan kepramukaan.
Usaha melakukan pembaharuan materi dan metode pembelajaran itu kiranya tidak akan bertentangan dengan ide dasar Baden Powell tentang pendidikan kepanduan atau kepramukaan. Baden Powell kepada para Pembina, dalam bukunya Penolong untuk Pemimpin Pandu, menyatakan bahwa dalam pendidikan kepanduan bukan isi pelajarannya yang terpenting tetapi cara-caranya. Menurut Baden Powell pendidikan kepanduan/kepramukaan adalah suatu sistem pendidikan yang membimbing anak dan remaja untuk melahirkan segala sesuatu secara benar, menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, memberikan kesempatan pada perkembangan inisiatif, kedisiplinan diri, percaya diri dan menentukan tujuan sendiri.
Dari pernyataan Baden Powell tersebut tersirat bahwa pendidikan kepramukaan memiliki sifat universal dalam perspektif tempat maupun waktu. Pemahaman keuniversalan pendidikan kepramukaan selama ini hanyalah pada perspektif tempat saja, artinya pendidikan kepramukaan dapat dipergunakan dimana saja untuk mendidik anak dan remaja dari bangsa di seluruh muka bumi. Pemahaman keuniversalan yang sempit inilah mengakibatkan kemandegan pengembangan pendidikan kepramukaan.
Pada perspektif kekinian dan ke depan usaha pembinaan kepribadian dan watak generasi muda melalui pendidikan kepramukaan tidak akan cukup hanya memperkenalkan kepada mereka keterampilan semaphore, morse, dan tali temali sementara nilai dan norma sosial yang berkembang di masyarakat telah diwarnai dengan suasana teknologi yang serba canggih. Justru pada perspektif kekinian dan ke depan pendidikan kepramukaan harus mampu mengemas materi dan metode pembelajarannya yang disesuaikan dengan permasalahan aktual yang sedang dihadapi dan tantangan yang akan dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Merosotnya Mutu
Di samping masalah ketertinggalan materi dan metode pembelajaran pendidikan kepramukaan dengan perkembangan jaman, faktor lainnya adalah merosotnya mutu proses pendidikan kepramukaan itu sendiri. Merosotnya mutu proses pendidikan kepramukaan ditandai dengan kesalahan penerapan prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan. Keadaan itu dapat terjadi karena kualitas Pembina sebagian besar belum memadai. Salah satu indikator hasil proses pendidikan kepramukaan yang berkualitas dapat dilihat pada seberapa banyak peserta didik yang mampu dilantik (lulus ujian SKU) dan sejauhmana mutu peserta didik yang dilantik itu. Dengan tidak mengecilkan arti data yang masuk ke Kwartir Cabang/Daerah/Nasional, kita dapat melihat banyak peserta didik yang mengenakan seragam Pramuka tanpa dilengkapi dengan tanda kecakapan umum. Padahal bagi seorang Pramuka tanda kecakapan umum merupakan suatu penghargaan atas prestasi belajar dan usahanya. Hal ini menandakan bahwa pada aspek kuantitas saja hasil proses pendidikan kepramukaan belum memadai karena tidak mampu memotivasi peserta pendidikan kepramukaan untuk berprestasi dan berusaha.
Rendahnya kualitas proses pendidikan kepramukaan serta rendahnya jumlah Pembina Pramuka yang bermutu menyebabkan peserta didik menjadi bosan sehingga meninggalkan pendidikan kepramukaan dan mencari bentuk ekstra kurikuler atau aktivitas di luar sekolah yang menurutnya lebih menarik dan dapat menampung jiwa serta aspirasi remaja yang saat ini sedang berkembang.
Karena itulah Gerakan Pramuka harus melakukan mawas diri, yang terpenting pada usia yang sudah cukup matang ini diharapkan para Pembina Pramuka dan Pelatih Pembina Pramuka menyikapi pendidikan kepramukaan dengan perspektif keuniversalan yang kekinian dan ke depan. Diharapkan dengan sikap itu kita tidak canggung lagi dalam mengadakan koreksi dan pembaharuan pendidikan kepramukaan agar tetap menarik di hati para generasi muda. Dengan demikian pendidikan kepramukaan tetap memiliki makna dalam usaha pembinaan generasi muda bangsa Indonesia. Semoga.


Refleksi Kritis Setengah Abad Gerakan Pramuka

Refleksi Kritis Setengah Abad Gerakan Pramuka


Refleksi Kritis Setengah Abad Gerakan Pramuka
Fauzi Kromosudiro      24 August 2011

Gerakan Pramuka lahir sebagai sebuah keputusan politik, hal mana didahului dengan keputusan politik MPRS tahun 1960 yang berupaya membersihkan sisa-sisa paham Baden Powell pada organisasi kepanduan. Penamaan Pramuka pun lebih berbau politis karena pada saat itu di sebagian negara komunis menyelenggarakan pendidikan kepanduan dengan nama pionir, dan pramuka dipandang sebagai padanan kata daripioner dibandingkan pandu. Pramuka diartikan sebagai selalu dimuka (pioner). Sedangkan pandu sendiri merupakan terjemahan dari scout yang merupakan gagasan dari Baden Powell dan diartikan sebagai orang yang senantiasa memandu atau menolong. Karena keputusan politik itulah maka organisasi ini sekarang lebih dikenal dengan pramuka daripada pandu.http://fauziep.blogdetik.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Kwartir Nasional pertama yang kemudian menerjemahkan pramuka sebagai praja muda karana dipandang sebagai upaya untuk mengeliminir istilah pramuka dari padanan kata pioner yang lebih berbau komunis pada saat itu. Konon terbitnya Keputusan Presiden nomor 238 Tahun 1961 juga penuh dengan pergulatan politik, bahkan dokumen ini tidak ditandatangani oleh Soekarno namun oleh Pejabat Presiden Ir. H. Djuanda pada tanggal 20 Mei 1961. Pada saat itu Presiden Soekarno sedang melawat ke luar negeri, pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa tidak menunggu Presiden pulang ke tanah air dan segenting itukah penandatanganan penyatuan puluhan organisasi kepanduan ke dalam Gerakan Pramuka sehingga tanpa harus menunggu kepulangan Soekarno? Pertanyaan yang sampai sekarang belum dijelaskan kepada publik secara gamblang. Konon versi keputusan presiden yang akhirnya diterbitkan berbeda dengan draf yang masuk ke staf kepresidenan. Adalah H. Mutahar yang memberikan informasi adanya draf yang berbeda itu kepada Sri Sultan dan akhirnya mendesak Pejabat Presiden untuk segera menandatangani Keputusan Presiden 238 tahun 1961 sebagaimana kita kenal sekarang ini.
Namun demikian pada tanggal 14 Agustus 1961 toh akhirnya Presiden Soekarno menyerahkan panji-panji Gerakan Pramuka kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama. Tanggal itulah yang kemudian diperingati menjadi Hari Pramuka. Jika pada awalnya terdapat keputusan politik untuk membersihkan sisa-sisa paham Baden Powell, maka tugas yang diemban Sri Sultan adalah membersihkan pengaruh komunis pada tubuh Gerakan Pramuka. Karena pada proses awal pembentukannya Gerakan Pramuka dipandang sebagai organisasi yang potensial bagi komunis untuk mengembangkan sayapnya.
Pergulatan politik itulah yang akhirnya membawa Gerakan Pramuka masuk di sekolah pada awal masa orde baru. Dikhawatirkan akan ditunggangi oleh eks-PKI, maka Gerakan Pramuka dititipkan di sekolah. Sehingga bermunculan Gugusdepan yang berpangkalan di sekolah sebagaimana kita kenal sekarang ini. Dan ini akhirnya menjadi gerakan yang sifatnya masif bahkan siswa diwajibkan mengikuti kegiatan kepramukaan atau minimal menggunakan seragam pramuka pada hari tertentu di sekolah.
Pemassalan pendidikan kepramukaan di sekolah menyebabkan penerapan sistem beregu dan sistem tanda kecakapan sebagai roh utama pendidikan kepramukaan menjadi sulit karena keterbatasan jumlah pembina. Bagaimana mungkin sistem beregu dan sistem tanda kecakapan dapat dijalankan oleh satu orang pembina yang menghadapi ratusan peserta didik karena siswa di sekolah diwajibkan mengikuti pendidikan kepramukaan? Akhirnya pendekatan klasikal yang paling mungkin diterapkan, yang pada gilirannya latihan kepramukaan menjadi pelajaran kepramukaan.
Karena itulah dalam rangka revitalisasi Gerakan Pramuka menurut hemat saya pertama kali yang perlu dilakukan adalah revitalisasi organisasi Gerakan Pramuka dengan mengembalikan gugusdepan ke masyarakat. Gugusdepan berbasis masyarakat akan lebih fleksibel dalam menerapkan metode kepramukaan hal mana ketika gugusdepan berada di sekolah metode kepramukaan sebagai ciri utama pendidikan kepramukaan tereliminasi sehingga pendidikan kepramukaan kehilangan jati dirinya.
Ketika gugusdepan berbasis di masyarakat maka keanggotaan tidak lagi bersifat masif dan organisasi akan lebih mampu mengurusi anggota. Pembina akan lebih optimal dan intensif melakukan proses pendidikan kepramukaan yang berkualitas berdasarkan metode pendidikan kepramukaan. Gugusdepan berbasis masyarakat juga akan mengoptimalkan pergaulan teman sebaya di lingkungan anak, remaja dan pemuda peserta pendidikan kepramukaan. Pada tataran inilah Gerakan Pramuka akan lebih mampu menjadikan organisasinya sebagai sebuah gerakan dalam membangun karakter bangsa.
Pinggir Krasak, Agustus 2011
Dimuat di Harian “Kedaulatan Rakyat” tanggal 15 Agustus 2011, halaman 12.


Lunturnya Jati Diri Gerakan Pramuka

Friday, March 9, 2018

Lunturnya Jati Diri Gerakan Pramuka



Lunturnya Jati Diri Gerakan Pramuka
Fauzi Kromosudiro      27 January 2009

Gerakan Pramuka dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 238 tahun 1961, yang merupakan peleburan dari puluhan organisasi kepanduan. Gerakan Pramuka mengemban misi utama sebagai wadah pembinaan watak dan kepribadian generasi muda, yang dalam pelaksanaannya menggunakan prinsip-prinsip kepanduan yang dikemukakan oleh pendirinya Lord Baden Powell. Di Indonesia prinsip-prinsip kepanduan itu dikenal sebagai prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan. Karena ciri-ciri prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan yang melekat maka Gerakan Pramuka berfungsi sebagai lembaga pendidikan, utamanya lembaga pendidikan bagi anak, remaja dan pemuda Indonesia yang berusia 7 tahun sampai dengan 25 tahun digolongkan ke dalam golongan Siaga, Penggalang, Penegak dan Pandega.http://fauziep.blogdetik.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif
Ide Dasar Pendidikan Kepramukaan
Proses pendidikan di dalam Gerakan Pramuka berlangsung pada satuan yang disebut wadah pembinaan, adapun wadah pembinaan yang pertama dan utama adalah Gugusdepan. Dapat dikatakan bahwa Gugusdepan merupakan satuan terdepan dalam usaha pendidikan dalam Gerakan Pramuka. Bahkan lebih ekstrim lagi disebutkan bahwa tanpa berlangsungnya proses pendidikan di dalam Gugusdepan maka usaha-usaha pendidikan Gerakan Pramuka tidak ada artinya. Karena memang di dalam wadah atau lembaga Gugusdepan itu sebagian besar proses pendidikan di dalam Gerakan Pramuka berlangsung. Di dalam wadah itulah berlangsung proses pendidikan, atau lebih luas lagi proses sosialisasi dimana peserta didik mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku, dan standard tingkah laku dalam masyarakat dimana ia hidup.
Proses pendidikan kepramukaan di Gugusdepan adalah proses pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh seorang pendidik, yang meliputi pembinaan di bidang pengetahuan, sikap, dan ketrampilan dengan titik berat pembinaan pada aspek pengetahuan dan sikap. Sedang proses pendidikannya dilakukan melalui proses pencapaian syarat-syarat kecakapan umum dan syarat-syarat kecakapan khusus serta penghayatan kode kehormatan. Penitikberatan pada aspek pengetahuan dan sikap ini sesuai dengan misi utama Gerakan Pramuka dalam upaya pembinaan watak dan kepribadian, dan konsisten dengan ide dasar Baden Powell bahwa esensi pendidikan kepanduan adalah pembinaan kecerdasan, watak, dan karakter. Bila dalam kegiatan kepramukaan dilakukan kegiatan ketrampilan dan ketangkasan bukanlah semata-mata menyiapkan peserta didik agar memiliki kompetensi terhadap suatu ketrampilan, namun kegiatan ketrampilan tersebut adalah sebagai alat pendidikan dalam usaha membantu perkembangan jiwa dan sikap peserta didik. Namun demikian Gerakan Pramuka tetap memberikan perhatian bagi pembinaan ketrampilan, dan usaha intensif ke arah usaha tersebut dilakukan melalui wadah pembinaan yang disebut dengan Satuan Karya.
Ide dasar pendidikan kepramukaan adalah permainan gembira di alam terbuka, dimana anak-anak dan pemuda menerima pengalaman-pengalaman menarik, membina kesehatan, kebahagiaan, ketangkasan tangan dan sifat suka menolong, dibawah bimbingan orang dewasa dengan hubungan sebagai kakak dan adik. Lebih lanjut Baden Powell mengatakan bahwa tujuan latihan kepanduan (kepramukaan) ialah memperbaiki mutu warga negara pada generasi yang akan datang, terutama karakter dan kesehatannya, mengganti aku dengan bakti membuat anak seorang yang efisien mengabdi pada sesama manusia. Dalam negara yang merdeka orang mudah mengatakan dirinya seorang warga negara yang baik bila ia selalu taat pada undang-undang, mengerjakan pekerjaannya, dan menyatakan pilihan politiknya, olah raga dan kegiatan-kegiatan lain dan menyerahkan kepada negara untuk memikirkan masalah kesejahteraan negara. Menurut Baden Powell keadaan demikian itu adalah warga negara yang pasif, tetapi warga negara yang pasif ini tidak cukup untuk mempertahankan isi kemerdekaan, keadilan dan kehormatan di dunia. Karena itu dibutuhkan juga warga negara yang aktif.
Kedudukan pendidikan kepramukaan sebagai daya dukung sistem pendidikan, terutama untuk melengkapi upaya jalur pendidikan sekolah, dapat ditilik dari ide dasar Baden Powell tentang pendidikan kepanduan. Menurut Baden Powell pendidikan kepanduan (kepramukaan) menitikberatkan pada pengembangan watak dan jiwa anak dan pemuda. Walapun konsep pendidikan formal dijiwai oleh tiga ranah pendidikan, yaitu kognisi, afeksi, dan ketrampilan, namun tidak bisa kita sangkal kelemahan perangkat pendidikan formal untuk mengembangkan ranah afeksi secara optimal. Pada sisi inilah kehadiran pendidikan kepramukaan diperlukan dalam sistem pendidikan nasional.
Melunturnya Jati Diri
Permasalahan utama yang dihadapi oleh pendidikan kepramukaan saat ini adalah kekhawatiran semakin melunturnya jati diri Gerakan Pramuka. Semakin melunturnya jati diri Gerakan Pramuka disebabkan oleh tererosinya pelaksanaan prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan. Hal ini berakibat bahwa proses pendidikan kepramukaan semakin kehilangan warna aslinya, sehingga kualitas proses dan hasil pendidikannya kurang memuaskan. Salah satu penyebab melunturnya jati diri Gerakan Pramuka/pendidikan kepramukaan adalah terlalu melekatnya pendidikan kepramukaan (yang notabene adalah bentuk pendidikan non formal) pada lembaga pendidikan formal. Akibatnya terjadi intervensi pengelola lembaga pendidikan formal (sekolah) yang kurang memahami karakter proses pendidikan kepramukaan ke dalam Gerakan Pramuka. Bagi pengelola jajaran Gerakan Pramuka (Kwartir) campur tangan pengelola lembaga pendidikan formal tersebut memang tidak selamanya negatif, namun yang paling merasakan adalah para peserta didiknya. Seringkali peran Pembina Pramuka dirangkap oleh guru pada sekolah yang bersangkutan, hal ini sebenarnya agak merepotkan peserta didik dalam berinteraksi dengan Pembinanya (yang juga gurunya) yang di dalam proses pendidikan kepramukaan berhubungan sebagai kakak dan adik. Disamping itu bagi Pembina akan muncul berbagai kendala dalam menerapkan prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan karena perannya sebagai guru pada pangkalan Gugusdepan yang bersangkutan.
Keadaan yang paling mengkhawatirkan adalah kesalahan penerapan metodik pendidikan kepramukaan oleh para Pembina. Tidak jarang kita jumpai para Pembina menerapkan metode latihan dan pembelajaran yang berlaku di dalam pendidikan formal pada proses pendidikan kepramukaan. Misalnya dengan penggunaan metode klasikal/ massal dan terlampau dominasinya penggunaan metode ceramah dalam latihan kepramukaan. Keadaan tersebut menyebabkan bosannya peserta didik terhadap latihan kepramukaan. Padahal Boden Powell mengemukakan bahwa pendidikan kepramukaan adalah permainan gembira di alam terbuka. Namun hal tersebut jangan diartikan sempit dengan cukup menerapkan sebuah latihan di lapangan terbuka serta mengajak adik-adik tepuk-tepuk dan bernyanyi. Melainkan menerapkan metode latihan sesuai prinsip-prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan dalam rangka memberikan materi-materi guna mencapai tujuan Gerakan Pramuka.
Hal yang dipandang esensi dalam pelaksanaan metodik pendidikan kepramukaan adalah penerapan sistem tanda kecakapan dan sistem beregu. Melalui sistem tanda kecakapan potensi yang berbeda pada setiap peserta didik dikembangkan secara optimal. Sistem tanda kecakapan mendidik Pramuka untuk memiliki motivasi mencapai yang terbaik, serta keinginan untuk maju dan mengembangkan diri. Apabila seorang Pramuka telah mencapai suatu syarat kecakapan tertentu akan diberi penghargaan, yaitu berupa tanda kecakapan yang dikenakan pada baju seragam Pramuka. Sedangkan melalui sistem beregu Pramuka dididik untuk bergaul dan bermasyarakat pada kelompok kecilnya dan satuan-satuannya. Penerapan sistem beregu diharapkan mampu menggeser metode klasikal yang dipandang kurang menguntungkan bagi proses pendidikan kepramukaan.
Namun kenyataannya sekarang kita sangat jarang menjumpai para Pramuka yang mengenakan berbagai tanda kecakapan di baju seragamnya. Sementara itu dalam penerapan sistem beregu Pembina sekedar membagi Pramuka dalam regu-regu atau kelompok-kelompok kecil lainnya secara fisik, tetapi tidak diikuti implementasinya. Jadi hakekat sistem beregu tidak terletak semata pada pembagian Pramuka ke dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi pada penerapannya menjadikan regu/kelompok sebagai kesatuan kerja dan bermain baik dalam disiplin maupun dalam menjalankan kewajiban. Dengan demikian menuntut pula kemauan dan kepercayaan Pembina untuk memberikan kekuasaan dan tanggung jawab ke pada pemimpin regu.
Maka apabila kita hendak meningkatkan jati diri Gerakan Pramuka maka hendaklah berpandangan usaha pendidikan kepramukaan tidak hanya bersandar pada isi/materi yang diberikan namun yang paling penting adalah metodenya (prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan). Karena perbedaan pendidikan kepramukaan dengan bentuk pendidikan lainnya terletak pada metode dan pendekatan yang digunakan dalam mengisi jiwa anak. Sebagai sebuah metode dan pendekatan pendidikan, prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan memberikan arahan, rambu-rambu bagi para Pembina dalam mendidik peserta didiknya dan memberikan inspirasi bagi bentuk seluruh program kegiatan kepramukaan. Adapun prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan secara lengkap adalah prinsip kesukarelaan, prinsip kode kehormatan dalam bentuk janji dan ketentuan moral, sistem beregu, sistem satuan terpisah untuk anggota putera dan anggota puteri, sistem tanda kecakapan, kegiatan menarik yang mengandung pendidikan, penyesuaian dengan perkembangan rohani dan jasmani, keprasahajaan hidup dan swadaya.
Mutu Pembina Pramuka Rendah
Masalah lain yang dihadapi Gerakan Pramuka saat ini adalah rendahnya kualitas dan kuantitas Pembina Pramuka. Sudah amat jarang terjadi munculnya Pembina baru dari para peserta didik yang memiliki pengalaman ketika menjadi Siaga, Penggalang, Penegak dan Pandega. Banyak Pembina yang muncul karena jabatannya sebagai guru, misalnya guru olah raga, guru bimbingan, yang notabene kurang memiliki pengalaman yang cukup sebagai anggota Gerakan Pramuka sebelumnya. Kurangnya pengalaman mereka sebagai peserta didik sudah barang tentu berakibat pada lemahnya pemahaman mereka terhadap ide dasar pendidikan kepramukaan.
Di Kwartir Daerah XII Daerah Istimewa Yogyakarta kekurangan jumlah Pembina dapat diketahui dari ratio Pembina berbanding peserta didik sebagai 1 : 40 orang. Angka tersebut masih jauh dari ketentuan ratio ideal sebesar 1 Pembina untuk 10 orang peserta didik. Keadaan tersebut masih ditambah dengan adanya kenyataan seorang Pembina merangkap membina pada beberapa sekolah atau Gugusdepan. Hal tersebut sudah barang tentu akan menghambat usaha peningkatan kualitas proses pendidikan kepramukaan di Gugusdepan, karena kurang intensifnya Pembina melakukan pembinaan pada peserta didiknya.
Memang, dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas Pembina Pramuka diadakan Kursus Mahir Pembina, baik tingkat Dasar maupun Lanjutan. Tetapi manakala peserta Kursus Mahir Pembina adalah Pembina karbitan, menjadi Pembina karena jabatan, bagi pelaksanaan proses pendidikan kepramukaan kurang memadai. Diharapkan Pembina Pramuka muncul dari para calon-calon Pembina yang benar-benar memiliki pengalaman sebagai peserta didik atau memahami ide dasar pendidikan kepramukaan. Tidak sekedar memandang pendidikan kepramukaan sebagai pelengkap kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, melainkan mendudukkan pendidikan kepramukaan dalam sistem pendidikan nasional, yaitu sebagai penunjang sub sistem pendidikan persekolahan (formal).
Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan kualitas proses pendidikan kepramukaan sesuai dengan yang dirujuk pada prinsip dasar metodik pendidikan kepramukaan, maka kemampuan dan ketrampilan para Pembina harus mendapat perhatian. Tampaknya diperlukan Pembina Pramuka yang benar-benar memahami dan menguasai pendidikan kepramukaan. Untuk itu harus dihindari munculnya Pembina Pramuka karbitan apabila Gerakan Pramuka masih ingin memberikan makna dalam sistem pendidikan nasional di masa mendatang.
Kembalikan ke Tengah Masyarakat
Sebenarnya pada awalnya pendidikan kepramukaan berada di tengah-tengah masyarakat, tidak melekat pada lembaga pendidikan formal. Artinya, Gugusdepan Gerakan Pramuka sebagai lembaga pendidikan luar sekolah seharusnya berpangkalan di masyarakat. Guna mengendalikan dan menangkal menyusupnya paham komunis ke dalam jajaran Gerakan Pramuka pada awal pertumbuhan Gerakan Pramuka, maka pada perkembangan berikutnya dan sampai sekarang Gugusdepan Gerakan Pramuka dititipkan pada sekolah. Serta alasan lainnya, yaitu guna memudahkan menghimpun peserta didik dan pengadaan tenaga Pembina dari para guru.
Melihat perkembangan saat ini, sudah waktunya kita mengembalikan kedudukan Gugusdepan Gerakan Pramuka di tengah-tengah masyarakat. Anak, remaja, dan pemuda yang berhak mengikuti pendidikan kepramukaan tidak hanya mereka yang duduk di bangku sekolah saja, tetapi juga mereka yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan sekolah serta pemuda putus sekolah. Namun demikian alasan utamanya adalah mengembalikan esensi pendidikan kepramukaan sebagai bentuk pendidikan luar sekolah serta mengurangi terjadinya erosi berlebihan terhadap metodik pendidikan kepramukaan. Sedikit banyak lepasnya Gugusdepan Gerakan Pramuka dari sekolah/ pendidikan formal akan membantu terciptanya kondisi yang memungkinkan untuk mengembangkan dan menerapkan prinsip dasar pendidikan kepramukaan, karena Gugusdepan tidak lagi terikat dengan birokrasi persekolahan. Dengan demikian jati diri pendidikan kepramukaan yang terpancar melalui penerapan metodiknya akan meningkat dan mengembang. Namun kiranya hal tersebut memerlukan kemauan pada setiap jajaran Gerakan Pramuka serta kemandirian organisasi Gerakan Pramuka.
Pinggir Krasak, Sleman Yogyakarta


Kunjungi Perpustakaan Pramuka (khusus buku Kepramukaan) di Kwarcab Kota Semarang. Jl Prof Hamka 234 komplek Kecamatan Ngaliyan. Setiap hari selasa pukul 15.00-17.00 WIB atau Hub kak Awang Wisnuaji  Hub 085 226 887 668 ( hanya  SMS dan Wa, Tidak menerima telp. Mohon memperkenalkan diri terlebih dahulu)
Info Terbaru